Langsung ke konten utama
BELAJAR DARI KEGIGIHAN PASUKAN SEMUT
Suatu hari ketika saya sedang mengerjakan tugas, saya tidak sengaja meletakkan sebungkus cokelat yang menemani saya dalam mengerjakan tugas di lantai untuk membantu ibu saya membereskan barang belanjaannya. Setelah 10 menit saya kembali, saya kaget melihat banyak semut yang berdatangan dari berbagai sudut. Semut-semut itu mengerubungi bungkusan cokelat tersebut, bahkan beberapa diantaranya mencoba mendekati laptop saya, lantas pelan-pelan saya menyingkirkan semut-semut tersebut dari laptop dan cokelat milik saya.
Tindakan saya tersebut lantas membubarkan kerumunan pasukan semut tersebut. Mereka bertebaran kemana-mana, ada yang kembali (mungkin ke sarangnya) lewat sela-sela lantai berubin, dan tidak sedikit pula yang masih saja berada pada tempat dimana saya tadi meletakkan sebungkus cokelat. Cukup lama mereka berada di tempat yang sama, dan entah kenapa dalam pikiran saya terbersit rasa bersalah karena sudah merusak kumpulan pasukan semut tersebut. Dalam hati, saya mengagumi kegigihan semut dalam bekerja. Mereka kecil dan lemah, senjata mereka hanyalah sebuah gigitan kecil, yang tidak begitu sakit untuk ukuran makhluk sebesar manusia. Meskipun begitu, semut-semut ini begitu pantang menyerah dalam menjalani hidupnya, seperti mencari makan, membangun sarang sampai mengumpulkan pasukan. Tidak peduli berapa besar rintangan yang akan mereka hadapi di dunia luar ketika mereka sedang mencari makan, yang pastinya kerjasama yang dibangun oleh pasukan semut ini begitu kuat.
Saya terus memandangi pasukan semut tersebut selama 15 menit, sambil mengagumi kegigihan mereka dalam bekerjasama. Tiba-tiba dalam hati dan pikiran saya muncul keinginan untuk memberikan sedikit cokelat milik saya untuk mereka. Kalau dipikir-pikir tindakan saya ini cukup bodoh, karena lokasi tempat saya mengerjakan tugas adalah di dalam kamar saya.
Bisa anda bayangkan sendiri bagaimana nanti jika semut-semut tersebut naik ke atas tempat tidur, dan bagaimana ribetnya saya nanti mengusir mereka. Tapi apa yang saya pikirkan tersebut tidak terjadi sama sekali, ketika saya mulai meletakkan bongkahan cokelat ke lantai. Pasukan semut tersebut dengan rapinya berdatangan mengerumuni bongkahan cokelat tersebut, tidak terpecah sama sekali. Masing-masing secara bergantian datang dan pergi mengerumuni bongkahan cokelat tersebut dengan barisan yang begitu rapi melewati sela-sela ubin tersebut.
Dalam hati, saya bahagia sekali bisa berbagi dengan teman kecil saya tersebut. Saya pun sempat berpikir bahwa Tuhan itu sungguh adil dengan segala ciptaannya. Sekecil apapun ciptaannya, semuanya berguna bagi siapa saja yang menikmatinya. Contohnya semut-semut ini, mungkin di mata sebagian besar manusia, mereka sangatlah tidak berguna, karena mereka kecil dan hanya mengotori ubin lantai kita, atau merusak makanan manis yang sudah kita siapkan di atas meja. Namun, sesungguhnya makhluk kecil ini bisa memberikan pelajaran berharga buat manusia, jika manusia tersebut memiliki empati yang tinggi terhadap semua makhluk ciptaan Tuhan. Pelajaran berharga yang kita bisa petik dari pasukan semut ini menurut saya adalah kegigihan dan ketekunan. Kedua hal ini sering disepelekan oleh sebagian besar manusia, karena ego manusia yang besar. Itulah mengapa, beberapa orang bijak di dunia ini mengatakan bahwa, salah satu musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. Ketika ego menguasai seluruh kehidupan manusia tersebut, nafsu duniawi nya juga otomatis akan menyelimuti seluruh kehidupan manusia tersebut. Dia akan lupa dengan segala hal yang secara langsung bersentuhan dengan semesta ini, seperti alam sekitar, hewan, bahkan sesama manusia.
Ego manusia juga terkadang secara tidak langsung melemahkan mental manusia, manusia jadi tidak bisa menerima kelemahan yang ada di dalam diri mereka dan berusaha untuk menutupinya dengan cara yang instan. Contoh nyatanya adalah ketika kita menjalankan sesi ujian di sekolah. Ujian merupakan salah satu cara untuk menguji kemampuan dari para peserta didik dalam memahami berbagai mata pelajaran yang sudah diajarkan oleh para guru. Sesi ujian ini harusnya dimanfaatkan dengan baik oleh para peserta didik untuk mengetahui batas kemampuan mereka. Namun, itulah sifat dasar manusia, lemah. Para peserta didik ini justru mengabaikan manfaat penting dari sesi ujian ini, dengan menyontek. Pertanyaannya, mengapa mereka menyontek? Jawabannya sudah pasti agar mendapatkan nilai sempurna, kalau tidak sempurna setidaknya nilainya pas-pas standar, tidak malu-maluin dan tidak perlu capek-capek untuk melakukan ujian ulang. Kalau sudah begitu, apa sebenarnya fungsi sekolah buat para peserta didik ini? Toh fungsi sekolah sebenarnya untuk belajar, sehingga yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu dan di dalam proses belajar, tentu harus ada jatuh bangunnya, tidak langsung jadi.
Kegigihan dan ketekunan, itulah 2 hal yang sering disepelekan oleh manusia. Menurut saya pribadi, kurangnya keyakinan dalam hati membuat para peserta didik ini mengambil jalan pintas seperti menyontek. Padahal kalau dipikir-pikir, nilai jelek belum tentu akhir dari segalanya. Tapi lingkungan kadang begitu ganas untuk para peserta didik yang masih kecil-kecil dan polos. Dunia pendidikan sepertinya mengajarkan pola hidup yang keliru, dimana nilai merupakan ukuran standar kecerdasan dari tiap peserta didik. Dunia pendidikan selalu memisahkan antara yang pintar dan yang bodoh, padahal sesungguhnya tidak ada manusia yang bodoh. Setiap manusia memiliki kemampuan tersendiri dimana butuh kegigihan dan ketekunan untuk mengetahui kemampuan pribadi tersebut. Karena sesungguhnya esensi dari kehidupan manusia tersebut adalah belajar. Dalam setiap inci kehidupannya, manusia akan terus belajar, belajar menyikapi rasa bahagia, rasa sedih, belajar bersyukur, belajara melepaskan, sampai belajar menghadapi tantangan dan rintangan pada jalan kehidupan yang penuh liku.
Belajar dari semut, itulah kalimat terakhir yang ingin saya sampaikan dari ocehan panjang lebar yang sudah saya sampaikan pada rangkaian paragraf sebelumnya. Bukan cuma kegigihan dan ketekunan, tapi belajarlah menerima, bahwa kita manusia juga kecil dan lemah seperti semut. Mengapa saya mengatakan kita juga kecil dan lemah?
Karena kita hidup berdampingan dengan alam dan binatang yang juga makhluk ciptaan Tuhan. Bayangkan jika alam ini rusak, rantai makanan juga otomatis terputus. Kemana lagi kita harus mencari makanan untuk mengisi perut kita dan kemana lagi kita mencari air bersih untuk sekedar melepas dahaga? Pada akhir catatan ini saya hanya ingin menyampaikan pesan, jika engkau memang manusia, hiduplah seperti seorang manusia sesuai dengan kodrat yang sudah diciptakan oleh Tuhan yaitu makhluk yang berakal budi. Dengan akal budi tersebut, hidupkan hatimu, kuatkan hati dengan keyakinanmu, sebab tidak pantas seorang makhluk yang berakal budi harus ‘mati’ begitu saja oleh rasa pesimis. Semut saja pantang menyerah masa kamu tidak? wkwkwk.
Referensi gambar :
Pinterest.com
Komentar
Posting Komentar